Home, Wife, Kids

A New Life or An End of It ?

Lagi-lagi saya mengalaminya, apa yang disebut unitended pregnancy atau unplanned pregnancy. Untuk yang kedua, rasa campur aduknya tak sepadan dengan kali pertama. Tanya kenapa ?

Semuanya masih satu rangkaian, dari pengobatan kanker payudara yang telah dimulai sejak tahun lalu: 
Mei 2017 (dimastektomi)- Agustus hingga Desember 2017 kemoterapi – Januari 2017 – radiasi 30x – November 2017 hingga Desember 2018 terapi target Herceptin (seperti obat kemo namun efeknya tak sampai membuat rambut rontok, mual, tak nyaman sebagaimana kemoterapi yang sebelumnya dijalani). Ya, meski seringkali kasus payudara perlu mendapat terapi lanjutan seperti minum obat hormon hingga 5-10 tahun, tapi saya tak perlu begitu. Hal ini mengingat hasil lab IHK (imunhistokimia) menunjukkan faktor pemicu kanker saya bukanlah hormonal (ditandai reseptor estrogen dan progesteron yang negatif), melainkan dipicu oleh faktor gen. Singkat kata, saya memang memiliki gen kanker yang praktisnya perlu diberikan terapi target Herceptin sebanyak 17 kali (kurang lebih satu tahun). Jadi kalau diibaratkan, saya dengan teman-teman yang minum obat hormonal itu satu fakultas tapi beda jurusan. Atau bisa juga satu jurusan, tapi lain konsentrasinya. Sama-sama dikemoterapi dan diradioterapi, tapi di akhir beda arah : ada yang minum obat hormonal hingga bertahun-tahun dan yang lain menjalani terapi target seperti saya. Cara pemberian terapi target atau herceptin itu bagaimana? Ya dimasukkan obat lewat infus, sama seperti dikemo. 

Sejak dikemoterapi pertama kali Agustus tahun lalu, siklus haid jadi sangat sangat tidak teratur yang justru ternyata menunjukkan respon yang bagus. Bahkan, sengaja dibuat supaya menopause dini. Sempat 2 kali haid di awal-awal setelah itu berhenti hingga saat ini. Dan selama pengobatan saya dianjurkan untuk tidak hamil lagi oleh semua tim dokter, dari onkologi, onkologi medik, hingga ke onkologi radiologi. Berisiko terhadap kekambuhan kanker karena proses kehamilan membuat hormon kembali tak seimbang (meski dalam kasus saya, bukan hormon pemicunya). Mereka yang kankernya dipicu oleh hormon setelah menjalani pengobatan kanker, disarankan melakukan pengangkatan saluran indung telur /ovarium kanan dan kiri (bedakan dengan rahim). Sekilas tentang indung telur / ovarium yaitu penghasil sel telur yang meluruh menjadi darah menstruasi (jika tidak dibuahi) atau menjadi cikal bakal kehamilan (jika berhasil dibuahi oleh sperma). Intinya, selama masih memiliki indung telur, peluang kehamilan tetap ada.  Indung telur juga memproduksi hormon yang mengatur siklus haid. Yes, it’s always about hormones dan kanker payudara sepertinya sangat tak bersahabat dengan si hormon ini.

Dalam hal ini, saya lalai terhadap pengetahuan dan kesehatan akan diri sendiri. Berpikir tidak haid lagi, lalu dengan otomatis menjadi menopause dini. Tidak memakai kontrasepsi obat atau suntik atau cara apapun yang bisa menganggu keseimbangan hormon. Tidak mendapat anjuran untuk melakukan ooforektomi atau pengangkatan indung telur sementara teman-teman lain yang tetap haid setelah pengobatan, diarahkan untuk untuk menjalani ooforektomi. Yang terpikir hanyalah menjaga diri untuk tidak hamil lagi, sederhananya dengan senggama terputus dan pakai kondom (yang selalu diabaikan oleh si bapak). Satu-satunya kontrasepsi yang dilakukan hanyalah disiplin dalam hal senggama terputus.  

Sampai di situ. Titik. Habis cerita.

Saya melanjutkan hidup dan lebih fokus berolahraga, termasuk ‘olahraga malam’. Saya sepakat bahwa seks dapat meningkatkan kualitas hidup termasuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap sel kanker. Justru, seks-lah yang menurut saya sangat membantu selama proses kemoterapi. Bahwa hidup berjalan normal seperti biasa, sehingga jadi lupa akan ketidaknyamanan yang dirasakan tubuh oleh obat-obatan keras itu. Saya dan suami hanya perlu berhati-hati agar jangan sampai hamil. Dan selalu menaati aturan senggama terputus.

Saya tak menyangkal bahwa beberapa waktu terakhir, begitu banyak yang mengomentari perut saya yang kian buncit. Bertanya-tanya, hamilkah lalu dengan percaya diri saya menampik itu semua. Sampai suatu hari di tanggal 25 November, iseng memutuskan untuk beli test pack karena pertanyaan hamil itu sudah jengah didengar. Dan hasil tes itu … sukses ‘menghancurkan’ zona nyaman yang saya bangun selama satu tahun terakhir. Sibuk dengan segala pengobatan, bolak balik rumah sakit yang begitu menyita segalanya (dana, waktu, tenaga), saya harus kembali berurusan ke rumah sakit karena dua garis yang tak pernah dinanti itu. 

Memeriksakan diri ke dokter kandungan adalah hal pertama yang saya lakukan esok harinya. Dokter kandungan yang menangani kelahiran anak pertama dan anak kedua. Dokter yang ternyata tidak bersimpati sama sekali dengan cerita kanker saya dan saking tidak pedulinya, maka tidak memberikan arahan apapun. Hanya berkomentar, “sudah 18 minggu, sudah besar, kehamilannya tidak masalah, dan lahir di bulan April, serta jenis kelamin perempuan.” Padahal bukan itu informasi yang ingin saya dengar. Saya ingin tanggapan yang lain. Bahwa, kehamilan ini sudah terpapar obat kemoterapi Herceptin selama 5 bulan terakhir dan rencananya Herceptin terakhir akan saya jalani awal Desember nanti. Dan bagaimana nasibnya, apakah akan terlahir cacat, haruskah dikuret atau diaborsi atau berisiko terhadap kanker saya atau jika memang dia tidak biasa menangani kasus seperti ini, mohon rekomendasikan saya ke spesialis lain. Tapi tak saya dengar semuanya itu. Dia hanya menutup sesi konsultasi dengan “Bismillah, Insya Allah semuanya baik-baik saja.” Dalam hati, buat apa ilmu kedokteran berkembang jika tanpa usaha maksimal, semua kembali pada kata-kata ajaib itu. Saya pun meminta nomor hp dokter agar bisa berkomunikasi lebih lanjut.  Alih-alih memberi tanggapan yang bijak, saya justru hanya diarahkan ke raden saleh cikini untuk menggugurkan kandungan. Dipikirnya saya ingin solusi yang instan, semacam saya tak lagi punya perasaan. Well, no hurt feeling, I’ve enough met such person and had such experience. It’s just the time to say him goodbye. Dan terima kasih atas pengalaman ini, untuk membuat saya segera mencari dokter kandungan lain dan eksplorasi lebih banyak lagi tentang kebutuhan medis diri sendiri. 

Satu-satunya yang bisa saya curhati segera adalah dokter onkologi medik yang selama ini menangani pemberian obat kemo. Dengan beliau, Alhamdulillah komunikasi selalu berjalan terus. Dan mengetahui kabar terbaru saya, dia arahkan bertemu dengan dokter bedah onkolog yang menangani saya dan yang juga rekan satu timnya. Bertemu onkolog, hal pertama yang ia koreksi adalah kelalaian (saya dan dia juga sebetulnya). Menurutnya, pasien kanker payudara jarang sekali dibekali pengetahuan ‘What’s next after treatment? Mestinya, meskipun saya tidak mengalami haid mengingat usia yang masih produktif dan seksualitasnya masih tinggi, tetap perlu menjalani pemeriksaan kesuburan dll. Tingkat kesuburan yang tinggi tetap berpeluang pada kehamilan dan perlu ditindaki dengan pencegahan melalui kontrasepsi yang tepat. Dalam hal ini, rekomendasi beliau bagi para pasien kanker payudara adalah ooforektomi itu tadi. 

Namun ini kan sudah terlanjur.  Oleh dokter onkologi, saya dirujuk ke dokter kandungan sub spesialis fetomaternal dan memastikan kandungannya baik-baik saja. Fetomaternal adalah cabang kedokteran kandungan yang dapat mendiagnosa dan  mendeteksi kelainan pada janin atau ibu dengan lebih akurat dan spesifik secara dini. Misalnya kelainan genetik, gangguan pembentukan organ tubuh, risiko keguguran, kelahiran prematur, kelainan kromosom dll. Caranya ya lewat USG atau tes lab lainnya. Dalam kasus tertentu, jika kehamilan tidak bisa dilanjutkan dengan banyak pertimbangan maka abortus menjadi langkah yang legal.  Berbekal surat pengantar dari onkolog, saya menghadap fetomaternal di RS Harapan Kita. Kandungan diperiksa, riwayat penyakit digali, dan kesimpulannya, kandungan baik-baik saja sejauh ini. Perkembangannya sesuai meski ada beberapa yang harus dipantau terus menerus apalagi cairan ketuban ternyata sangat ngepas jumlahnya. Intinya, dokter kandungan tak bisa memutuskan sendiri apakah kehamilan ini bisa dilanjutkan atau tidak. Mereka harus duduk bersama antara dokter onkologi, kandungan, dokter anak, dan komite legal untuk mendiskusikan langkah ke depannya. Mengingat jumlah kandungan yang sudah hampir mencapai 20 minggu, riskan untuk melakukan abortus karena ini menyangkut nyawa dan artinya perlu melibatkan tim legal di situ. 

Pertanyaan dokter selanjutnya yang bikin kami ngakak bersama adalah : “Udah segede ini kog lu ga tau hamil sih?” Nah itulah. Saya ngobrol panjang lebar dengan dokter perempuan yang gaul ini dan mengurut-urut sendiri kegiatan saya selama 5 bulan terakhir (kurang lebih 20 minggu yang lalu). Saya terlalu menikmati hidup, masih bolak balik Dharmais untuk kemo per 3 minggu, me-time dan olahraga. Jadi dok, saya ga  ngerasain apa-apa dan ga nyangkain apa-apa. Jujur. Baru tahu hamil tanggal 25 November dan mundur ke belakang tuh saya ngapain aja? Pokoknya lumayan bikin diri saya sendiri terkaget-kaget. 

Daaaan… printilan aktivitas nukang lainnya. Macam bersihin AC, ngebor pasang berbagai rak gantung dinding, ngecat, main sama palu paku. Pokoknya perkasa banget dan selama itu saya tidak tahu sama sekali bahwa tengah hamil, naik turun tangga, wara wiri nyetir kesana kemari dan mulai berani bawa sepeda motor ke jalan raya.

Oh ya untuk AC, jangan salah paham ya. Bukannya pelit dengan ga manggil tukang AC buat bersih-bersih tapi setelah sekian minggu bikin janji, selalu saja dicancel, alasannya sibuk banyak orderan. Sok beut kan. Akhirnya jadi geregetan sendiri. Ditambah kalau malam, rasanya AC sudah tak dingin lagi. Wess lah, karena ga suka diPHP-in, maka dengan kekuatan youtube , mari maafkan si abang dan kerjakan sendiri. 

Saya jadi mengerti kenapa banyak sekali pertanyaan yang masuk dan tatapan yang langsung ke perut saya, namun semua itu tak pernah ditanggapi. Pada dasarnya, punya perut besar itu sudah sedari dulu. Perut ga pernah rata, ditambah obat-obat pra medikasi yang selama ini masuk ke tubuh dan ternyata bisa berefek bengkak di bagian tubuh tertentu. 

Kurang lebih 3 minggu sejak tahu hamil, saya mengalami stres dan kegalauan. Bahwa dalam kondisi normal (tanpa kanker), kebobolan hamil mungkin akan membuat saya cengar cengir kuda sambil bilang ya sudah, syukuri saja. Namun dalam kondisi medis saya yang morat marit sehabis serangkaian pengobatan bertubi-tubi, kebobolan ini bikin saya ingin menangis meraung raung. Anaknya bakalan cacat nggak  ya ? Kalau pun hamilnya lancar, anaknya lahir, apakah tumbuh kembangnya kelak sesuai atau ada masalah tiba-tiba yang muncul pengaruh dari hamil yang terpapar obat-obatan. Kalaupun anaknya baik-baik saja, lalu akankah kankernya kembali bangun mengingat gen itu tetap ada di dalam tubuh saya, tak mungkin bersih total. Lalu kalau saya kembali kambuh, bagaimana dengan semuanya? Kalau saya sakit-sakitan, siapa yang merawat ketiga anak saya? Semua kemungkinan ini membuat saya lesu untuk mengakui pada dunia tentang kehamilan ini. Rasanya ingin sembunyi saja. Ketika anaknya lahir, lalu dia dan saya sehat, maka beranilah kami unjukkan ke dunia. Tapi kalau sebaliknya, maka persembunyian yang dilakukan sejak sekarang mungkin akan ada gunanya. Intinya, saya tidak siap menghadapi dunia dengan segala pertanyaan ingin tahu itu. Pertanyaan kepo yang sudah tentu tak berkelas dan tak menunjukkan kepedulian. Kenapa saya bilang begitu? Karena itulah yang sudah dialami ketika saya kanker. Beragam komentar dan pertanyaan tak cerdas yang bisa menambah kerut wajah. Dan sekarang kanker yang berbarengan hamil plus dikemo pula? Sudahlah, terlalu lelah jika dijawab semua satu per satu. 

Timbul keinginan supaya hasil diskusi para dokter memutuskan saya untuk diaborsi saja. Mungkin akan dianggap jahat oleh sebagian besar orang, namun itu yang paling masuk akal. Merasa tidak siap dengan segala risiko, merasa tidak siap punya anak lebih dari 2, merasa tidak punya tenaga untuk merawat 3 anak, merasa sedang berada di zona nyaman dengan segala aktivitas yang saya suka (bersepeda, lari, renang), merasa aman karena anak-anak sudah beranjak besar sehingga tak mau lagi repot dengan urusan bayi, macam-macam perasaan tak karuan. Tapi itu hanya keinginan egois yang saya tahu tak mungkin nyata. Hasil diskusi para dokter memutuskan bahwa kehamilan dilanjutkan lantaran kondisi saya yang tidak tergolong kondisi yang mengancam nyawa. Bahwa risiko kekambuhan memang ada namun kecil. Bahkan tanpa hamil pun, risiko itu selalu ada. Bahwa pemicu kanker saya yang sebelumnya bukanlah hormonal, maka masalah hormon selama kehamilan mungkin tidak berdampak apa-apa. Mungkin. Bahwa, bayinya dalam kondisi sehat hingga saat ini, organ tubuh seluruhnya berkembang, dan belum terdeteksi adanya kelainan. Oleh karena itu, tidak etis melakukan aborsi pada kasus saya. Namun dokter menekankan tidak menutup kemungkinan bahwa ke depannya, jika ditemukan masalah serius, opsi diaborsi atau dilahirkan prematur tetap ada. Selanjutnya dari kelahiran prematur itu, berlakulah seleksi alam. Apakah bayinya bisa bertahan hidup dan berkembang di luar rahim atau sebaliknya. 

Saya mengerti bahwa para dokter telah mengambil keputusan yang terbaik. Saya dan suami menerima hasil itu meski masih dengan rasa was-was yang sangat. Sebab dari awal kami sudah sepakat untuk menyerahkan semuanya kepada mereka yang ahli, yaitu para dokter. Seakan mengerti dengan perasaan saya, dokter mengarahkan saya untuk selanjutnya konsultasi dengan psikolog. Bagaimana pun, kehamilan yang tak pernah direncanakan (baik di dalam maupun di luar pernikahan) dapat mempengaruhi kondisi psikologis. Saya tidak menolak usulan itu, tapi belum pula berencana mengeksekusinya dalam waktu dekat. Mau tidak mau, siap tidak siap, sepertinya melanjutkan kehamilan adalah hal yang paling legal dan rasional untuk dilakukan saat ini. Soal masalah psikologis yang terpendam di balik itu, soal masalah dengan pasangan yang turut menyertainya adalah hal lain yang tidak relevan diperbincangkan di sini. 

Menjaga dan merawat kehamilan, termasuk rutin periksa ke fetomaternal. Mengusahakan, memikirkan dan mendoakan yang baik-baik hanya itu yang bisa saya lakukan. Walau ya itu sulit jenderal! Namun di sisi lain, jika saya tak juga menerima kehamilan ini dan tetap menginginkan aborsi, artinya saya perlu mencari pihak lain yang mau melakukannya dan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan yang ilegal (meski saya punya dasar medis yang menjadi alasan untuk aborsi). Dalam hidup, tentu bukan jalan ini yang mau saya pilih. Jika harus aborsi, biarlah itu menjadi keputusan legal yang memang diperlukan. Saat hidup menantang saya, maka saya tantang dia kembali dengan cara yang sepantasnya, yakni menjalani hidup itu.

Saat ini, saya hanya berharap selalu diberikan kekuatan oleh Tuhan supaya lulus dalam menjalani ujian ini. Lolos dari kanker, lalu diuji hamil adalah sesuatu yang melelahkan. Saya sudah berencana teriak bebas menjelang sesi Herceptin terakhir saya yang harusnya di awal Desember lalu, yang artinya sejenak saya bebas dari rutinitas bolak balik rumah sakit. Namun, dengan kondisi baru ini, saya hanya akan berpindah rumah sakit, yang lucunya saling bertetangga.

Dari Dharmais ke Harapan Kita. Bagi yang tahu dan pernah ke salah satu rumah sakit itu, mungkin tahu jalan lorong yang terisi banyak pedagang di antara keduanya. Di situ, saya pernah dapat pertanyaan, “Pasien di mana bu, Dharmais atau Harapan Kita?” Pertanyaan yang menggelitik yang membuat saya hanya bisa menjawab sambil tersenyum pasrah, “Pasien dua-duanya.” Pun membuat saya mengajukan tanya ke diri sendiri, “Akankah kelahirannya kelak merupakan awal hidup baru bagi perjalanan saya (dalam arti positif), atau membuat perjalanan hidup saya justru berakhir ?” 

One thought on “A New Life or An End of It ?

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.