Home, Wife, Kids

School Hunting (3) : Akhir Pencarian

Setelah beberapa waktu menimbang-nimbang, keputusan diambil. Yang mana? Di mana?

Dua bulan berlalu di tahun 2020, barulah hutang tulisan ini lunas. Tulisan tentang sekolah yang kami pilih untuk menitipkan Malik 6 tahun ke depan. Bismillah dan Insha Allah jadi tempat yang tepat untuk Malik mengembangkan diri. Adalah Sekolah Islam Al Fikri yang mulanya saya kenal hanya lewat dunia maya. Setelah tes di SDIT Nurul Fikri beberapa waktu lalu, kami pun menyempatkan diri mampir di sekolah ini dalam perjalanan pulang. Sekolah yang menekankan pada proses belajar dan pengembangan potensi sesuai fitrah masing-masing anak. Secara umum, saya pun masih belum paham betul apa maksud dan implementasi dari kata fitrah ini. Sepertinya baru akan dirasa setelah anak bersekolah di sini. Namun jika boleh mengutip dari brosur sekolah, yang dimaksud filosofi fitrah itu : “Setiap anak adalah individu yang unik dan memiliki fitrahnya masing-masing. Setiap anak diberikan kesempatan untuk berkembang sesuai perkembangan intelektual, emosional, fisik, dan sosial yang berpusat kepada nilai-nilai spiritual. Metode pembelajaran berbasis active learning dan akan membiasakan siswa untuk menentukan gaya belajarnya masing-masing namun tetap dalam bimbingan dan arahan para guru sebagai fasilitator dan motivator.” Kesannya, student oriented -lah gitu. Meski dalam hati, cara belajar yang begini sangat mungkin menantang saya dan daddy selaku orang tua untuk ikut aktif mengimbangi si anak. Siap-siap saja, kalau si anak minta didukung sarana ini itu atau minta kami menyediakan waktu lebih untuk mendampingi proses belajarnya. PR emak bapak!

Setelah berkeliling sekolah dan tanya ini itu, Malik kami daftarkan untuk ikut tes. Uang pendaftaran yang tadinya 600 ribu, kami cukup bayar setengahnya karena pas sedang ada masa promo satu hari. Adapun pelaksanaan tes dilakukan tanggal 23 November 2019 (Sabtu) yang ternyata bentrok dengan hari anak-anak ikut Kids Triathlon di BSD. Daftarnya sudah jauh-jauh hari sehingga saya pun minta izin ke sekolah untuk dilakukan penjadwalan tes ulang. Oleh pihak sekolah Malik boleh nyusul di tanggal 27 November bersama beberapa teman yang juga belum tes. Tes anak hanya meliputi observasi 3 jam (namun karena Malik susulan dan pesertanya sudah tidak banyak, maka hanya sekitar 1-2 jam) . Sembari anak di observasi, orangtua juga diwawancara. Isi wawancara ini kurang lebih sama dengan yang ada di SDIT Nurul Fikri. Meski kesannya bagi saya, di Nurul Fikri lebih menekankan kepada akademis siswa dan apakah orangtua berkenan ikut serta dalam acara-acara sekolah, apakah orang tua menyerahkan penuh penyelesaian kepada sekolah jika suatu hari anak punya masalah dengan temannya. Untuk yang di Al Fikri, saya ingat betul pertanyaannya difokuskan kepada anak. Apa makanan kesukaan anak, apa kegiatan anak di dalam dan di luar rumah, apa kegiatan bersama keluarga yang melibatkan anak, apa yang diharapkan dari anak jika bersekolah di Al Fikri. Semua pertanyaan yang membuat saya berpikir seberapa dalam saya mengenal anak sendiri. Di sini saya juga ceritakan bahwa Malik dulu pernah diterapi karena terlambat bicara dan kesulitan-kesulitan lain yang menurut saya melekat pada dirinya.

Selain fokusnya pada anak, yang membuat kami tertarik untuk menyekolahkan anak tentunya adalah area sekolah yang luas, termasuk lahan parkir dan lapangan olahraga. Meski akan digunakan bersama dengan siswa SMP, namun daya tampungnya terbilang memadai. Lapangan bulutangkis, futsal, basket, lompat jauh, dan masjid dapat digunakan bersama oleh seluruh siswa. Untuk fasilitas dalam kelas, media belajar cukup lengkap seperti halnya yang saya temukan di Nurul Fikri. Juga ada ruang serba guna untuk anak-anak berkegiatan, termasuk kegiatan seni dan budaya. Saya pun baru tau ternyata tetangga dekat rumah ada yang menyekolahkan anaknya di sini. Dan dari dia, saya dapat banyak juga informasi bagus mengenai sekolah ini. Bahwa anaknya menjadi anak yang kritis namun dapat mengungkapkan pendapatnya secara santun dll.

Lanjut cerita, di tanggal 2 Desember lalu, hasil observasi dikirimkan melalui e-mail dan menyatakan Malik diterima. Hanya butuh 1 minggu setelahnya untuk melakukan daftar ulang sekaligus pembayaran. Selama seminggu, pikiran menimbang-nimbang apakah akan lanjut atau tidak. Kakak Syafi tidak setuju adiknya di Al Fikri karena menurutnya tidak adil jika tidak memberikan fasilitas sekolah yang sama. Ia pun kami berikan penjelasan bahwa pemilihan sekolah Malik berbeda dari proses saat dia masuk SD mengingat hal-hal khusus pada Malik yang tidak boleh diabaikan. Yang utama misalnya kurang fokus dan sangat aktif. Jika bicara adil dan tidak adil, maka memang sudah tak adil sedari awal. Syafi tidak ikut Play Group, juga tidak perlu terapi. Segalanya tampak mudah jika itu berhubungan dengan akademis. Ke Malik, kami orangtua selalu dihadapkan pada usaha lebih untuk mengajar ini itu, mengomunikasikan ini itu. Hingga pada tanggal jatuh tempo yang ditentukan, kami pun memantapkan hati untuk Malik bersekolah di sini. Jika dibandingkan ke Nurul Fikri, biaya pendidikannya sama. Yang bikin nilai tambah itu adalah jarak tempuh. Jika dari rumah ke Nurul Fikri sekitar 10 km, maka dari rumah ke Al Fikri sekitar 6 km saja. “Lebih realistis secara jarak,” kata Daddy.

Untuk biaya pendidikan Al Fikri tahun ajaran 2020 / 2021 di Gelombang Pertama ini antara lain :

  • Uang Pangkal Rp 24.990.000
  • Uang Seragam Rp 800.000
  • SPP Juli 2020 Rp 1.800.000
  • Uang Komite Rp 240.000
  • Ekstrakurikuler Rp 150.000-Rp 600.000 / Semester (menyesuaikan jenis ekskul)
  • Antar Jemput Rp 600.000-Rp1.200.000 / bulan (menyesuaikan alamat rumah)
  • Katering Rp 22.000 / hari (pembayaran setiap bulan tapi sesuai hari masuk siswa)

Pengalaman memilih sekolah kali ini cukup berharga bagi saya. Ketika saya tidak bisa dengan mudahnya menentukan, ketika tidak bisa tergiur dengan mudah oleh nama besar sekolah tertentu namun tidak memadai dari fasilitas dan lokasi, ketika harus berperang batin sendiri apa jaminannya sekolah yang saya pilih betul betul sesuai dengan harapan. Juga, ketika saat ini pun setelah saya memilih, akankah siap menghadapi kendala kendala yang mungkin dialami terkait jarak karena yang akan sering bolak balik sekolah nanti itu ya saya juga. Misalnya seperti kejadian waktu si kakak sakit dan dapat telepon dari sekolah untuk minta dijemput, saya pun harus siap segera meluncur. Pengalaman kali ini juga kembali menegaskan bahwa untuk urusan anak-anak, terutama pendidikan, saya dan Daddy sepakat untuk mengusahakan dan memberikan yang terbaik yang kami mampu. Urusan anak-anak selalu jadi prioritas dan akan selalu dipenuhi sesuai dengan kebutuhannya. Walau ada efek sampingnya, emak tahan untuk ga sering-sering belanja baju deh (tapi belanja kain hehehe).